Tahun 2012 segera berakhir. Makmun Ibnu Fuad segera menjadi Bupati
Bangkalan, Jawa Timur, menggantikan ayahnya, Fuad Amin. Makmun
berpasangan dengan Mondir Rofii. Mereka terpilih dalam pemilihan umum
kepala daerah, yang sering disebut pesta demokrasi. Selain Makmun adalah
anak Bupati Bangkalan, Mondir adalah adik kandung Syafik Rofii, yang
kini menjabat Wakil Bupati Bangkalan.
Makmun-Mondir dipilih
rakyat Bangkalan. Undang-Undang Dasar 1945 tak melarang anak mencalonkan
diri dalam pilkada untuk menggantikan ayahnya atau seorang adik maju
menggantikan kakaknya. Tak ada aturan hukum yang dilanggar karena rakyat
yang menjadi penentu.
Makmun tak sendirian. Tahun 2012 Ahmed
Zaki Iskandar terpilih sebagai Bupati Tangerang, Banten. Ahmed
menggantikan ayahnya, Ismet Iskandar, yang tak mungkin mencalonkan diri
lagi. Konstitusi membatasi masa jabatan kepala daerah, juga kepala
negara, dua periode.
Makmun dan Ahmed bukan orang pertama yang
terpilih oleh rakyat untuk menggantikan ayah mereka memimpin daerah.
Sebelumnya ada Ni Putu Eka Wiryastuti yang sejak 2010 menjadi Bupati
Tabanan, Bali. Ia menggantikan ayahnya, N Adi Wiryatama, yang dua
periode memimpin.
Ada juga Tubagus Iman Aryadi yang menjadi Wali
Kota Cilegon, Banten, sejak 2010. Ia menggantikan ayahnya, Tubagus Aat
Syafaat, yang tak bisa dipilih lagi.
Di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, ada Rita Widyasari yang menjadi bupati
sejak tahun 2010. Rita tak langsung menggantikan Syaukani HR, ayahnya,
yang terbelit kasus korupsi tahun 2006.
Istri juga tampil
Seperti
tahun sebelumnya, tak hanya anak yang tampil sebagai penerus
kepemimpinan keluarga di suatu daerah. Tahun 2010 juga memunculkan
fenomena istri terpilih sebagai kepala daerah, menggantikan suaminya
yang tak mungkin mencalonkan diri. Ada Anna Sophanah yang menjadi Bupati
Indramayu, Jawa Barat, menggantikan suaminya, Irianto MS Syafiuddin,
atau Sri Surya Widati sebagai Bupati Bantul, DI Yogyakarta, menggantikan
suaminya, Idham Samawi.
Di Jawa Timur ada Haryanti Sutrisno yang
menggantikan suaminya, Sutrisno, sebagai Bupati Kediri. Tahun ini Jawa
Timur juga memunculkan Puput Tantriana Sari yang terpilih sebagai Bupati
Probolinggo, menggantikan suaminya, Hasan Aminudin.
Di Jawa
Barat tahun ini memunculkan Atty Suharti Masturi sebagai Wali Kota
Cimahi. Ia terpilih menggantikan Itoch Tochija, suaminya.
Sejauh ini baru tingkat bupati atau wali kota yang jabatannya ”bisa” diwariskan kepada istri atau anak meski tetap dalam
pemilihan. Belum ada istri atau anak yang menggantikan suami atau
ayahnya menjadi gubernur. Tentu dalam kasus ini DI Yogyakarta harus
dikecualikan.
Selain kemunculan anak atau istri yang tampil
mengambil alih ”kursi” ayah atau suami, tak sedikit pula anak atau
istri, bahkan suami, yang seperti dimagangkan pada jabatan politis lain.
Pemilu menjadi jalan untuk keterpilihan mereka.
Desember ini,
putra Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang, Ivan Sarundajang, terpilih
sebagai Wakil Bupati Minahasa. Sebelumnya, Rycko Mendoza, anak Gubernur
Lampung Sjachroedin Z Pagaralam, terpilih sebagai Bupati Lampung
Selatan. Airin Rachmi Diany, adik ipar Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah, menjadi Wali Kota Tangerang Selatan.
Dalam diskusi mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, November lalu, di Redaksi Kompas,
Jakarta, Airin mengingatkan, tak ada yang salah dengan terpilihnya
sanak saudara kepala daerah menjadi kepala daerah. Rakyat melihat
mereka berkualitas.
Sejumlah kerabat Ratu Atut, termasuk
suami, anak, dan menantunya, menduduki sejumlah jabatan politis di
negeri ini. Ada pula Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo;
Bupati Lebak, Banten, Mulyadi Jayabaya; Gubernur Kalimantan Tengah A
Teras Narang; dan Ketua DPRD Jawa Tengah (nonaktif) Murdoko yang
kerabatnya menyebar menduduki jabatan politis di daerah dan pusat.
Pesta segera berakhir
Guru
Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengatakan,
politik kekeluargaan yang marak di daerah berpotensi menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan. Sebab, pemimpin baru yang masih sekeluarga
bisa hanya menjadi boneka dan dikendalikan oleh pemimpin yang lama.
Kejadian ini adalah bentuk nepotisme dan kolusi yang mengatasnamakan
demokrasi.
Bupati Bantul Sri Surya Widati tak menampik beberapa
kali meminta pendapat suaminya. Idham tentu memiliki banyak pengalaman
yang bisa dibagikan. Namun, ia bukan kepala daerah boneka (Kompas, 14/11).
Joko
Susanto, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, menambahkan, hukum tidak melarang pergantian kepemimpinan
nasional atau daerah oleh keluarga. Namun, perilaku ini jelas merugikan
rakyat. Calon berkualitas terhalang tampil sehingga bisa merugikan
kelanjutan sistem pemerintahan yang baik.
Kegerahan ini ditangkap
oleh Kementerian Dalam Negeri. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, revisi atas UU No
32/2004 mengatur keluarga kepala daerah petahana tak boleh mencalonkan
diri dalam pilkada berikutnya, sampai satu periode terlewati. Aturan ini
diberlakukan bagi ayah/ibu, anak/menantu, suami/istri, atau kakak/adik
dari kepala daerah petahana.
Usulan ini sudah dimasukkan ke dalam
draf Rancangan UU tentang Pilkada, yang adalah pecahan dari revisi UU
Pemerintahan Daerah. Fraksi di DPR memang belum tentu menyepakati usulan
pemerintah ini. Namun, harus diakui, pengaturan itu baik untuk
masyarakat.
Tahun 2013 segera tiba. Tahun ini diwarnai dengan 13
pemilihan gubernur-wakil gubernur dan lebih dari 50 pemilihan
bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota. RUU Pilkada tahun
2013 akan diundangkan. Jika pembatasan terhadap keluarga kepala daerah
petahana itu disepakati, tahun 2013 pesta keluarga dalam demokrasi
segera berakhir. (ODY/ILO/tra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar